Monday, November 19, 2007

Koran Tempo , Minggu 18 November 2007

Merawat Karya Sang Maestro
Malam yang redup. Di luar hujan November menderas.
Tapi ruangan itu justru menyala hangat. Itulah MP Book Point, Kemang, Jakarta, tepat di Hari Pahlawan, Sabtu lalu. Lima puluhan orang yang hadir seluruhnya memasang gas tinggi. Mereka bernyanyi, berteriak, bertepuk, dan berulang kali mengepalkan tangan ke udara. "Ayo nyalakan api hatimu, seribu letupan pecah suara, sambut dengan satu kata: merdeka...!" Sungguh sebuah pertunjukan yang membikin merinding. Vibrasi kegembiraan terasa betul di setiap jengkal ruangan. Interaksi hangat terbangun antara penampil dan penonton yang duduk lesehan. Tak ada sekat. Setiap orang berperan aktif. Air mata kerap tampak membayang di pelupuk hadirin. "Aku sampai trans," kata Abing Patrick, pengusaha dari Bangka Belitung yang secara khusus terbang ke Jakarta demi acara bertajuk "Pahlawan yang Dilupakan" ini.Mereka memang bukan sekumpulan orang "normal". Inilah komunitas penggemar sejati karya Leo Imam Sukarno, 58 tahun, penyanyi pengelana pada 1970-an yang lebih dikenal dengan panggilan Leo Kristi .Telah dua tahun persahabatan berbasis mailing list leokristi@yahoogroup.mailto:leokristi@yahoogroups..com ini terjalin (Koran Tempo, 25 Agustus 2007). Berulang kali pula mereka menggelar reriungan demi memuaskan rindu pada karya Leo. "Kami ini kumpulan wong edan," kata Setiyadi, salah satu pentolan komunitas. Lkers (diucapkan el-kers), begitu mereka saling menyapa, tidak segan berjibaku. Malam itu ada yang spesial datang dari Bangka, Kalimantan, Yogyakarta, dan Bandung. Demi suksesnya acara, para Lkers berlatih berminggu-minggu. "Bapak saban hari nyanyi dari subuh sampai malam," ujar Katia, putri kecil Setiyadi, yang turut hadir malam itu. Para Lkers menghayati benar karya Leo. Mereka hafal baris demi baris, bahkan titik dan koma, puluhan lagu karya sang pujaan, yang heroik, patriotik, humanis, juga yang romantis. Karya Leo, bagi mereka, mestilah dinyanyikan dengan khusyuk bagai sembahyang. Maka lihatlah malam yang bersinar itu. Sembahyang para Lkers terasa meresap. Para musisi dan penyanyi, yang hampir semuanya amatir, tampil prima. Ada Aris Ducat yang lihai meniup harmonika, Sena yang menabuh perkusi dengan dahsyat, dan Bambang Aroengbinang yang piawai memetik gitar. Lalu ada Gamawan Waluyo, dosen Institut Teknologi Bandung, yang menjaga ritme musik dengan anggun memainkan gitar, suling, harmonika, sampai angklung. Pada barisan vokalis ada Ayu, Tanty, Lis, Setiyadi, dan Linda. Arya Gunawan dan Devi dari Sanggar Matahari tak ketinggalan menyumbangkan suara. Dan, di antara gemintang Lkers, yang tampil paling gemerlap malam itu adalah Rezza Suhendra. Pria berusia 33 tahun inilah sang kesatria bergitar. Petikan gitarnya yahud meliuk, dengan improvisasi di sana-sini hingga menguatkan emosi lagu. Teknik tremolo yang lazim di dunia gitar klasik, yakni dua atau tiga jari memetik satu senar secara cepat, menciptakan efek yang luar biasa. Bahagia, sedih, haru, semangat, dan> mabuk kepayang hadir nyata dalam cabikan gitar Rezza. Berkat petikan gitar Rezza pula, roh Leo Kristi hadir malam itu. "Dia ndadi, seperti orang kesurupan," komentar seorang pengunjung. Beberapa> tamu menggelesot di lantai sambil melongo menatap lincah gerak jemari Rezza. Nyanyian Malam, Nyanyian Fajar, Salam dari Desa, Tembang Dia Hati, Anna Rebana, dan Bulan Separuh Bayang, nomor-nomor andalan Leo, meluncur penuh daya. Ada juga lagu Kesaksian (Iwan Fals, W.S. Rendra), yang dinyanyikan dengan luapan emosi oleh Abing Patrick dan segera disambut kor hadirin: "Orang-orang harus dibangunkan, aku bernyanyi menjadi saksi". Seusai pertunjukan, Rezza yang beroleh aplaus meriah berkomentar merendah, "Ah, saya cuma main di kunci C, G, dan F, kok." Rezza yang mengaku belajar gitar klasik cuma ketika di bangku sekolah menengah pertama ini menyebut penonton sebagai faktor utama suksesnya acara malam itu. "Lkers penonton luar biasa," katanya. Rezza juga takjub pada antusiasme penonton yang membuncah ketika lagu Bintang Emas Biru Tani dimainkan. Nomor yang satu ini tak pernah direkam dan hanya pernah sekali dimainkan Leo di panggung, 20 tahun silam. "Ini lagu kan sudah seperti dinosaurus," kata Rezza, "Tapi Lkers hafal syairnya. Gile."
Pujian Rezza tidak berlebihan. Semua penonton malam itu terlibat dengan segenap hati. Albert Go, misalnya, bernyanyi sambil berjalan tegap bagai> tentara di medan juang. Ada juga Persada Dewi, Lkers dari Bangka, yang berulang kali berguling-guling di lantai saking gembiranya. Layak dicatat, lirik lagu Leo sama sekali bukan pasaran. Kata-katanya selalu terpilih, diselingi permainan aneka bunyi, juga ditingkahi bahasa Jawa, Timor, dan Madura. "Kalau penonton hafal lagu Peterpan, itu biasa. Tapi Lkers menghayati, bukan sekadar hafal, lagu Leo Kristi," ujar Rezza, "itu yang bikin merinding." "Nemocapa nemocapa rindikumba, Suasuvu topeduta suasuvu topeduta Iyo iyo kabo marinemo" Yudi Widiantoro, tamu malam itu yang bukan anggota Lkers, mengacungkan> jempol atas kerja keras komunitas ini dalam merawat karya sang maestro.
"Terasa sekali kawan-kawan memberikan seluruh hati untuk Leo," kata Yudi.
Kesungguhan hati yang akhirnya mewujud dalam acara yang mengharukan malam itu. Bahkan Yudi menilai penampilan Lkers terasa lebih mengesankan ketimbang konser Leo yang disaksikan Yudi dalam tiga tahun terakhir. "Leo terasa mulai hambar dan kurang bertenaga," ucap Yudi, yang aktif menonton acara seni di berbagai kantong kebudayaan di Jakarta.
"Justru malam ini saya merasakan gereget yang lebih dalam," katanya.
Yudi berharap ada gebrakan bermakna dari komunitas ini kelak.
"Adik, di saat pakaian-pakaian tua robek tertisik kembali, kasih sayangmu membenahi hatiku."

MARDIYAH CHAMIM